Tugas Riset Pemasaran 2

Nama : Gita Rahardiyani A
NPM : 10207503
Kelas : 4EA03



STUDI KARAKTERISTIK PENGGUNAAN RUANG PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN UNIVERSITAS GUNADARMA KAMPUS E KELAPA DUA


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penurunan kualitas kehidupan di kawasan permukiman di tengah-tengah kota, memaksa mereka yang tidak mampu menanggung beban ekonomis pemeliharaan tingkat kualitas yang ada, untuk berpindah ke tempat lain umumnya ke pinggiran kota dan membentuk kawasan ”rumah petak” yang paralel pola penyebarannya dengan penyebaran lapisan-lapisan lebih mampu. Pola pemekaran wilayah pemukiman tidak memecahkan masalah penurunan kualitas kehidupan di tengah kota, kalau ditinjau dari sudut sosiologis. Selain itu juga terjadi labilitas struktur pelapisan masyarakat di kawasan pemukiman karena tidak memungkinkan penggalangan kepemimpinan antar lapisan yang kuat, yang hanya terjadi karena interaksi yang datang dari pergaulan berjangka waktu lama (Wahid dalam Budiharjo,1984). Sebagian terbesar masyarakat miskin di kota berasal dari pedesaan yang pindah ke kota-kota besar karena sempitnya kesempatan mencari nafkah di desa. Perubahan esensial terjadi dalam kehidupan mereka. Kalau semula mereka adalah petani-petani di desanya, maka sekarang menjadi buruh dan pekerja di kota. Jadi semula mereka hidup dari kegiatan sektor produksi pangan yang vital sifatnya, sekarang mereka hidup dari kegiatan sektor jasa umum yang kurang vital atau sama sekali tidak vital. Masyarakat pedesaan yang masih hidup dari sektor produksi pangan perannya bahkan meningkat selama adanya krisis. masyrakat di kota-kota besar masih bisa memanfaatkan kekayaannya untuk mengatasi krisis. Sedangkan masyarakat miskin di kota-kota besar sama sekali tidak bisa berbuat apaapa. Oleh karena itu program perbaikan kampung dan permukiman golongan ekonomi lemah seharusnya dilihat dalam konteks ini. Suatu usaha perbaikan kampung yang bertujuan memperkokoh eksistensi masyarakat kampung dengan memberikan mereka peran yang lebih esensial dalam kehidupan kota akan memberikan manfaat ganda ( Soemarjan dalam Budiharjo, 1984).
Pembangunan ekonomi di Indonesia, tidak hanya menumbuhkan dan mengembangkan industri-industri besar serta program resmi pemerintah, yang dikenal dengan sektor formal, namun juga menumbuhkan usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang sangat bebas menentukan cara bagaimana dan dimana usaha mereka yang dijalankan yang distilahkan dengan sektor ekonomi informal. Salah satu masalah yang paling sering muncul adalah kegiatan informal dibidang perdagangan, yaitu kegiatan pedagang kaki lima (PKL). Tidak berbeda dengan sektor ekonomi informal, PKL yang merupakan bagian di dalamnya juga selalu dikonotasikan dan dijadikan penyebab dari masalah kota yang ada.

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
 Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Kecenderungan PKL adalah tidak terlepas dari eksistensi sektor formal di daerah tersebut, dan dalam hal ini pemerintah pada umumnya hanya melakukan kegiatan sporadis dengan membebaskan jalanan dari kegiatan perdagangan liar, dimana hasilnya justru menciptakan masalah baru dan kebijakan yang lahir bukan untuk menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. Hal itu terjadi karena Pemerintah Kota tidak pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam Rencana Tata Ruang Kota terutama di ruang-ruang fungsional kota dimana memiliki potensi untuk berkembangnya PKL.
Lokasi berdagang PKL sering terkait dengan sektor formal yang ada disekitarnya. Dalam studi di Bali, oleh Bromley dalam Mannning (1996:232) para pedagang kaki lima dijumpai dalam semua sektor kota, namun terutama berpusat di tengah kota di sekitar stadion dan pusat-pusat hiburan lainnya ketiak ada pertunjukan yang bisa menarik sejumlah besar penduduk dan sekitar tempat-tempat pemberhentian sepanjang jalur bus. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Waworontoe dalam Widjajanti (2000:28), PKL biasanya akan tumbuh dan berkembang pada ruang-ruang fungsional kota (pusat perdagangan/pusat, perbelanjaan/pertokoan, pusat rekreasi/hiburan, pasar, terminal/pemberhentian kendaraan umum, pusat pendidikan, pusat perkantoran).
Keberadaan PKL yang umumnya berada di kota-kota besar yang padat penduduknya, juga muncul di Kota Kendari. Beberapa kawasan fungsional di Kota Kendari saat ini berkembang aktivitas PKL yang cukup pesat yang keberadannya mulai menimbulkan permasalahan yang serius bagi lingkungan disekitarnya. Salah satu kawasan fungsional dimana PKL berkembang dengan pesat adalah di kawasan kampus E gunadarma kelapa dua. Hal ini terkait dengan yang dikemukakan oleh McGee (1977:20) bahwa PKL hadir dimana-mana dan bergerak sepanjang jalan-jalan yang menjual barangnya, mengerumuni sekitar pasar umum atau mereka berada disepanjang tepi jalan di berbagai bagian kota.

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukenali karakteristik penggunaan ruang bagi pedagang kaki lima (PKL) sesuai dengan aktivitasnya pada kawasan kampus E gunadarma kelapa dua. Ruang lingkup wilayah studi meliputi kawasan kampus E gunadarma kelapa dua, kawasan tersebut dimanfaatkan sebagai kios-kios usaha yang sifatnya sementara. Yang menjadi pertanyaan penelitian, bagaimana penggunaan ruang PKL pada kawasan kampus E gunadarma kelapa dua? Mengapa PKL masih tetap eksis pada kawasan tersebut?

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat Bagi Penulis
 Untuk menambah pengetahuan penulis dengan cara membandingkan teori yang diperoleh selama perkuliahan.



BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Pengertian Pedagang Kaki Lima
Konsep sektor informal lahir pada tahun 1971 yang dipelopori oleh Keith Hart berdasarkan penelitiannya di Ghana. Kemudian konsep itu diterapkan dalam sebuah laporan oleh tim ILO tahun 1972 dalam usaha mencari pemecahan masalah tenaga kerja di Kenya. Menurut Ahmad 2002:73) sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, temapt tidak tetap berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.
Keberadaan sektor informal dalam kegiatan perdagangan dan jasa merupakan suatu dikotomi karena disatu sisi sektor informal mampu menyerap tenaga kerja terutama pada golongan masyarakat yang memilki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta modal kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas atau perlindungan hukum dan merugikan sektor formal karena menyebabkan permasalahan lingkungan kota. Seiring dengan perkembangan masyarakat, kegiatan sektor informal pun berkembang dan mengambil berbagai macam bentuk dan bidang pekerjaan yang ada, menurut Alisjahbana (2005:14) salah satu yang dominan dan menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima.
Pedagang kaki lima sebagai bagian sektor informal perkotaan, istilah pedagang kaki lima konon berasal dari jaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jenderal pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu dari kata ”five feet” yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar 5 (lima) kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (dalam Widjajanti, 2000:28). Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan defenisi dari pedagang kaki lima diantaranya menurut McGee (1977:28) menyebutkan PKL sebagai hawkers adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar.
Defenisi tidak termasuk PKL yang berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain menjual barangnya atau menawarkan jasanya. Pembagian tipe komoditas yang dijual PKL, oleh MCGee dan Yeung (1977:81) dibedakan 4 (empat) kelompok yakni : (1) Makanan yang tidak diproses dan semi olahan (unprocessed and semi processed food). Makanan yang tidak diproses, termasuk makanan mentah seperti daging, buahbuahan atau sayuran. Sedangkan makanan yang semi olahan seperti beras. (2) Makanan siap saji (Prepared food), yakni penjual makanan yang sudah dimasak. (3) Barang bukan makanan (nonfood items), kategori ini terdiri dari barangbarang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-obatan. (4) Jasa (services), yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan tukang cukur. Berdasarkan sifat layanannya, MCGee & Yeung (1977 :82-83) membagi ke dalam 3 (tiga) tipe, yaitu : (1) Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapatmembawa barang daganngannya, mulai dari menggunakan sepeda atau keranjang. (2) Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut. (3) Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen di suatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik. Menurut waworoento (dalam Widjajanti, 2000 :39-40), bentuk sarana fisik berdagang yang digunakan oleh pedagang kaki lima adalah : (1) Gerobak/kereta dorong, bentuk ini terdiri dari 2 macam, yaitu gerobak yang beratap dan tidak beratap. (2) Pikulan/keranjang, yaitu digunakan oleh PKL keliling (mobile) ataupun semi menetap.
(3) Tenda, bentuk ini terdiri dari beberapa gerobak/kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan kursi dan meja, biasanya dilengkapi dengan penutup. (4) Kios, menggunakan papan atau sebagian menggunakan batu bata, sehingga menyerupai bilik semi permanen, yang mana pedagang bersangkutan juga tinggal di tempat tersebut, pedagang ini dikategorikan sebagai pedagang menetap. (5) Gelaran/alas, pedagang bentuk ini menggunakan alas berupa tikar, kain atau lainnya untuk menjajakan dagangannya. (6) Jongko/meja, sarana berdagang yang menggunakan meja jongko dan beratap, sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap. Pada dasarnya , pola penyebaran dari lokasi PKL memiliki ciri tertentu, yang menurut McGee (1977:37-38) dapat dibedakan dalam dua tipe konsentrasi (pemusatan), yakni :
1. Pola Penyebaran Mengelompok (Market Focused Agglomeration)
  
Gambar 1. Pola Penyebaran Mengelompok PKL
Sumber : McGee & Yeung (1977:37)

Pedagang pada tipe ini pada umumnya mengelompok dan terfokus pada satu kegiatan, seperti mengelilingi pasar umum, ruang-ruang terbuka/lapangan kota, taman-taman dan sebagainya. Pola penyebaran pada tipe ini dipengaruhi oleh pertimbangan aglomerasi, dimana terjadi pemusatanatau pengelompokan dari pedagang yang menjual barang yang sejenis atau memiliki sifat sama dengan area/sektor formal yang dikelilinginya.

2. Pola Penyebaran Linear (street Concentrations)
 
 
Gambar 2. Pola Penyebaran Linear PKL
Sumber : McGee & Yeung (1977:37)

 Pola penyebaran pedagang tipe ini adalah terjadi di sepanjang atau di pinggir jalan utama atau jalan yang menghubungkan jalan utama. Tempatnya bisa di jalan itu sendiri ataupun di trotoar. Pola kegiatan Linear banyak dipengaruhi oleh pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan, misalnya pada jalan dengan lalulintas yang padat dan pada kegiatan perdagangan dimana terdapat pertokoan. Hal ini dimaksudkan untuk mendekatkan pedagang dengan konsumen.
PKL dalam studi ini adalah orang-orang yang menawarkan barang dan jasa dengan menempati ruang-ruang publik kota, baik trotoar, badan jalan, bantaran sungai maupun RTH, berada di sekitar pasar atau pertokoan dimana mereka tidak memiliki legalitas hukum berusaha, sifat layanannya adalah yang menetap, menetap sementara ataupun datang dan menetap sesaat pada waktu-waktu tertentu di lokasi studi.
Karakteristik lokasional berdagang PKL McGee & Yeung (1977 :63-64) mengatakan bahwa PKL tidak berlokasi di seluruh ruanh kota, menurutnya terdapat beberapa kecenderungan dari mereka dalam berlokasi, yakni : (1) PKL cenderung untuk berkonsentrasi pada area dengan kepadatan populasi yang tinggi pada titik-titik persimpangan transportasi, atau berdekatan dengan aktivitasaktivitas seperti kompleks hiburan, pasar umum dan area komersial/perdagangan dimana mereka mendapat keuntungan dari produk-produk yang melengkapi dan tarikan konsumen secara bersama. (2) Kecenderungan berjualan pada area dengan komoditas yang sama (adanya bentuk cluster). Penelitian yang dilakukan di Hongkong dan kotakota di Asia Tenggara lainnya, mengindikasikan bahwa pola-pola konsentrasi komoditas PKL umumnya memiliki hubungan simbiotik dengan aktivitas retail yang berdekatan. (3) Keterkaitan dengan tipe unit usaha PKL dengan kecenderungan untuk berlokasi di pinggir jalan dan pintu masuk pasar dimana aliran pejalan kaki berada pada waktu puncak (peak hour). (4) Kecenderungan PKL untuk berada di wilayah dengan kepadatan populasi yang tinggi.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Joedo dalam Widjajanti (2000:35), penentuan lokasi yang diminati sektor informal adalah sebagai berikut : (1) Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama, sepanjang hari. (2) Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat kegiatan perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan, tetapi sering dikunjungi dalam jumlah besar. (3) Memiliki kemudahan untuk terjadinya hubungan antara PKL dengan calon pembeli. (4) tidak membutuhkan ktersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum. Gejala aglomerasi yang terjadi pada PKL terkait dengan teori lokasi yang dikemukakan oleh Palander dan Hoover dalam teori mengenai ketergantungan lokasi. Lokasi usaha lebih ditentukan oleh penyebaran permintaan dan ketergantungan lokasi terhadap usaha lain yang sejenis (Djojodipuro, 1992:119-120). Keuntungan yang tinggi akan mengundang masuknya pedagang lain ke dalam lokasi tersebut. Hal ini akan menimbulkan persaingan dalam menguasai pasar seluas mungkin, tanpa membanting harga tetapi dengan mengaturlokasinya terhadap saingannya. Adanya pengelompokan tersebut akan memudahkan pembeli dalam memilih barang terbaik yang diinginkannya.



BAB III
METODE PENELITIAN


3.1 Objek Penelitian
 Metode penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan penelitian ke objek yang akan di teliti yaitu kawasan pedagang kaki lima yang berada di kampus E gunadarma kelapa dua.

3.2 Data atau Variabel
Kajian karaktersitik berlokasi pedagang kaki lima (PKL) ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dimana menjadikan teori yang sudah diketahui sebelumnya sebagai dasar dalam merumuskan variabel-variabel penelitian, yang nantinya akan digunakan dalam proses pengumpulan data penelitian survei (Survey research).

3.3 Metode Penyimpulan Data
Dalam prosesnya, penelitian ini memerlukan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mempertajam analisis dan memperoleh rumusan karakteristik berlokasi PKL. Penelitian ini melibatkan baik PKL maupun pengunjung PKL. Penentuan sampel PKL menggunakan teknik stratified random sampling, dimana populasi terbagi atas tingkat-tingkat dan strata, pengambilan sampel tidak boleh dilakukan secara random dan setiap strata harus diwakili sebagai sampel, sehingga penyebaran dilakukan secara proporsional (Arikunto, 1997:115). Penentuan sampel kepada pengunjung PKL ini dilakukan dengan teknik accidental sampling, dimana dalam teknik sampel ini siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2000:60). Hal ini karena jumlah populasi pengunjung PKL tidak dapat diketahui secara pasti.

3.4 Alat Analisis Yang Digunakan
 Teknik analisis yang diperlukan dalam studi mengenai kajian karakteristik berlokasi PKL kawasan kampus E gunadarma kelapa dua adalah : Distribusi Frekuensi/Deskriptif, teknik analisis deskriptif kualitatif dan komparatif.




BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

 

4.1       Analisis karakteristik Aktivitas Usaha PKL

Berdasarkan analisis karakteristik aktivitas usaha PKL yang diperoleh adalah :

1.  Kecenderungan PKL berlokasi di karenakan koridor jalan tersebut memiliki tarikan pengunjung yang paling tinggi. Kawasan ini telah dinyatakan sebagai kawasan bebas kegiatan perdagangan, namun tempat ini masih sangat diminati untuk menjajakan berbagai dagangan kebutuhan sehari-hari.

2.  Jenis dagangan berupa kebutuhan sehari-hari bagi mahasiswa.

3.  Adanya ketidaksesuaian aktivitas PKL dengan Kebijakan Pemerintah Kota yang telah menyatakan bahwa lokasi tersebut tidak lagi difungsikan sebagai aktivitas berdagang sebagaimana layaknya dulu. Kenyataan sekarang masih dimanfaatkan sebagai kawasan perdagangan khususnya PKL walaupun telah ada pelarangan dari pemerintah daerah Kota Kendari. Apa yang menarik dengan lokasi ini, sehingga sangat sulit ditinggalkan oleh PKL?

 

4.2       Analisis Penggunaan Ruang bagi PKL

Analisis ini bertujuan untuk melihat karakteristik penggunaan ruang bagi PKL di Kawasan Eks. Variabel yang kaji dalam analisis ini meliputi : Akasesibilitas bagi pengunjung yaitu kemudahan pencapaian pengunjung untuk berbelanja, Status Ruang meliputi jalan, halaman rumah dan area hijau.Temuan yang diperoleh antara lain :

1. Sekitar 50% PKL menggunakan badan jalan dan trotoar sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan, hal ini untuk memudahkan pengunjung untuk mendapatkan barang dagangan kebutuhan sehari-hari tanpa meninggalkan kendaraan jauh. Hal ini senada dengan Joedo dalam Widjajanti (2000:35) menyatakan bahwa pemilihan lokasi bagi pedagang sektor informal salah satunya adalah lokasi tersebut memiliki kemudahan untuk terjadinya hubungan antara PKL dengan calon pembeli. Begitupula dengan pernyataan McGee dan Yeung (1977) menyatakan bahwa keterkaitan dengan tipe unit usaha PKL dengan kecenderungan untuk berlokasi di pinggir jalan dan pintu masuk pasar dimana aliran pejalan kaki berada pada waktu puncak (peak hour). PKL menjajakan dagangannya dengan menggunakan badan jalan sangat mengganggu jalur lalulintas kendaraan karena terjadi konsentrasi pembeli yang berjalan kaki dan pengunjung yang menggunakan kendaraan baik roda dua maupun kendaraan roda empat.

2. Sekitar 30% PKL menggunakan area hijau sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan.. Area hijau ini sebenarnya harus dimanfaatkan sebagai taman hijau yang merupakan elemen kota yang harus tetap dipertahankan keberadaannya. Namun kenyataan yang terjadi adalah lokasi tersebut tertutup oleh barang dagangan dan tenda-tenda lapak PKL yang tentunya sangat mengganggu estetika kota.

3. Sekitar 20% PKL menggunakan halaman rumah dan lahan kosong milik warga masyarakat sebagai area untuk melaksanakan aktivitas berjualan. Namun kenyataan yang kita lihat bahwa halaman rumah bisa jadi disewakan ke PKL untuk membangun kios yang sifatnya semi permanen seperti PKL yang menjual barang pecah belah, peralatan masaka dan perlengkapan dapur lainnya. Begitupula dengan lahan lahan kosong milik masyarakat disewakan ke PKL untuk dibanguni bangunan semi permanen misalnya PKL yang menjual kebutuhan mahasiswa.

 

4.3       Analisis Persepsi Pengunjung Terhadap Keberadaan Aktivitas PKL pada Kawasan Eksternal

Analisis ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara karakteristik pengunjung dengan persepsinya terhadap keberadaan lokasi PKL di Kawasan eks. Variabel yang dikaji dalam analisis ini meliputi : motivasi kunjungan, aksesibilitas, tujuan kunjungan serta kenyamanan.

Temuan yang diperoleh antara lain :

1. Dominasi motivasi pengunjung datang ke PKL Kawasan Eks karena ketersediaan kebutuhan mahasiswa dapat ditemukan di kawasan ini dengan mudah. Ketersediaan bahan pokok yang menjadi kebutuhan mahasiswa sehari-hari menyebabkan tingkat penghasilan ataupun tingkat pendidikan pengunjung tidak mempengaruhi atau mengurangi motivasi pengunjung untuk datang karena keberadaan PKL Eks dikunjungi oleh berbagai lapisan mahasiswa dan tidak dominasi konsumen tertentu. Kekhasan jenis dagangan PKL yakni khusus menjual kebutuhan pokok sehari-hari bagi mahasiswa serta harga yang relatif murah sehingga mahasiswa tertarik untuk datang dan membeli.

2. Kemudahan dalam pencapaian ke kios dan PKL yang menjajajakan kebutuhan sehari-hari. Kemudahan akses tersebut berupa kemudahan kendaraan untuk masuk ke dalam kawasan eks dikarenakan kawasan tersebut memanfaatkan bahu jalan dan badan jalan untuk menjajakan dagangannya. Kemudahan kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat untuk masuk ke dalam kawasan, menimbulkan permasalahan kemacetan lalulintas pada jam-jam tertentu yakni antara jam 15.30 sampai dengan jam 18.00 sore hari, hal ini dikarenakan pada jam tersebut para karyawan dan PNS pulang kantor.

3. Kedekatan Lokasi Kawasan Eks dengan pusat aktivitas lainnya , menyebabkan persepsi pengunjung akan aksesibilitas dari dan ke dalam kawasan mayoritas yang relatif sangat mudah. Kedekatan tersebut antara lain :

Ketersediaan angkutan umum, lokasi kawasan yang sangat strategis di tengah- tengah kawasan permukiman yang padat tengah kota, dekat dengan lokasi perkantoran, dekat dengan

kawasan perdagangan Mall Margo City, dekat dengan perbankan dan dekat dengan lokasi kebutuhan untuk mahasiswa. Kondisi tersebut Implikasi Karakteristik Penggunaan Ruang PKL kawasan Eks terhadap Perkembangan Kota Implikasi dari karakteristik penggunaan ruang PKL yang mendekati kawasan fungsional kota adalah pertumbuhan PKL yang sporadis karena berada di ruang-ruang kota terutama sepanjang jalan-jalan protokol yang memiliki populasi dan arus lalulintas tinggi, sehingga muncul titik/spot dalam ruang kota yang menjadi incaran PKL.

Implikasi terhadap ketersediaan prasarana/utilitas yaitu pola operasi PKL yang menempati ruang publik dengan membuang sisa dagangan di sembarang tempat menyebabkan timbulnya kekumuhan kawasan terlebih adanya keterbatasan akses akan prasarana bagi golongan tersebut. Oleh sebab itu perlu peningkatan pengelolaan prasarana berdagang PKL. Selain itu adanya kecenderungan sarana dagangan PKL sebagai tempat tinggal atau memanfaatkan jalan lingkungan untuk menyimpan sarana sehingga berdampak pada menurunnya fungsi jalan.

Implikasi terhadap Perkembangan Permukiman, indikasi adanya PKL yang berasal dari luar Kota mempengaruhi kecenderungan tumbuh suburnya sektor informal sewa menyewa, kontrak rumah di kawasan fungsional yang berdekatan dengan aktivitas PKL.

Implikasi terhadap Kebijakan, semakin berkembangnya PKL yang memenuhi sudut kota menyebabkan perlunya penyediaan ruang bagi PKL terutama dari segi spatial hingga kedalaman RTBL maupun ekonomi. Selain dari segi spatial dimana PKL selalu tidak diberi ruang, dalam pengaturannya pun terjadi tumpang tindih. Kebijakan Pemkot yang selama ini selalu melakukan penataan secara represif tanpa memperhatikan karakteristik PKL harus diubah dengan cara yang lebih menguntungkan semua pihak. Setelah menyediakan ruang, pembatasan-pembatasan dengan ketegasan aparat sangat diperlukan.

 

 

 

BAB V

KESIMPULAN

 

 

Keberadaan PKL di kawasan Eks sangat diperlukan oleh masyarakat umum dari berbagai golongan, baik tingkat pendidikan, pendapatan maupun pekerjaan. PKL dapat memberikan kenyamanan yang tidak hanya murah dan berkualitas namun juga dapat dicapai dengan dengan tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi tanpa meninggalkan kendaraan.

Karaktersitik secara makro PKL Eks, antara lain: (1) Karakteristik Penggunaan ruang secara umum, (2) Lokasi yang strategis berada di tengah kota dan dilalui oleh berbagai jenis kendaraan, (3) Kemudahan aksesibilitas dengan jalan yang baik, (4) Keterkaitan aktivitas usaha PKL dengan Pasar Mall mandonga dan, (5) adanya Pengelompokan jenis dagangan.

Karakteristik mikro PKL Eks, antara lain (1) Karakteristik Penggunaan ruang terutama badan jalan/trotoar, area hijau dan halaman runah/tanah kosong milik warga masyarakat, (2) Kemudahan berbelanja karena arus kendaraan dua arah dapat secara langsung melintasi PKL yang ada di sepanjang jalan, (3) Tidak adanya dominasi dagangan tertentu karena memang lebih banyak menawarkan lebih banyak menempati area di pinggir jalan dan trotoar karena lebih mudah menjajakan dagangannya. Kondisi tersebut berdampak kepada masih eksisnya PKL di kawasan tersebut, meskipun telah ditegaskan oleh Pemda bahwa kawasan tersebut tidak lagi difungsikan sebagai yang sifatnya sementara. Perlu ada ketegasan kebijakan dari Pemkot Depok.

Karakteristik penggunaan ruang PKL Eks berimplikasi terhadap antara lain : (1) Perlunya ketersediaan prasarana dan utilitas yang memadai untuk mendukung kebutuhan PKL yang selama ini belum ada akses bagi golongan tersebut, (2) Kebijakan dalam hal perlunya penyediaan ruang bagi PKL yang sesuai dan, (3) Perkembangan Permukiman terutama makin tumbuh suburnya permukiman ilegal dan menciptakan kawasan kumuh pada sudut-sudut kawasan fungsional Kota Depok.

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ahmad, Ahmaddin, 2002, Redesain Jakarta 2020, Kota Press, Jakarta.

Alisjahbana, 2005, Sisi Gelap Perkembangan Kota: Resistensi Sektor Informal dalam Perspektif Sosiologis, Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Arikunto, Suharsimi, 1997, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V, Rineke Cipta, Yogyakarta.

Budihardjo, Eko. (1984), Sejumlah Masalah Permukiman Kota, Alumni, Bandung.

Djojodipuro, Marsudi, 1992, Teori Lokasi, Lembaga Penerbit fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996, Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

McGee, T.G dan Y.M. Yeung, 1977, Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy, IDRC Publisher, Canada.

Sugiyono, 2000, Statistika untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung.

Widjajanti, Retno, 2000, Penataan Fisik Pedagang Kaki Lima pada Kawasan Komersial di Pusat Kota, Studi Kasus : Simpang Lima Semarang, Tesis tidak diterbitkan, Magister.

Teknik Pembangunan Kota Institut Teknologi Bandung.

Tugas Riset Pemasaran

Nama : Gita Rahardiyani Ayuningtyas
NPM : 10207503
Kelas : 4EA03

Review Jurnal
Tema / Topik : Pemasaran
Judul, Pengarang, Tahun :
Pengaruh Musik Pada Perilaku Berbelanja Di Supermarket, S.ANDIKA.AULIA, 2008.

1. Latar Belakang
 Ketatnya tingkat persaingan yang terjadi dewasa ini menuntut pemasar untuk lebih memahami akan kebutuhan dan keinginan konsumen. Pemasar, khususnya pemasar jasa harus mampu mengembangkan strategi pemasaran yang tepat untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Dalam konteks pemasaran jasa, khususnya retail, pemasar harus mengembangkan strategi pemasaran yang lebih baik dari pesaing agar pelanggannya dapat terus dipertahankan dan tidak berdalih pada pesaing. Aktivitas pemasaran jasa, khususnya retail cenderung hanya berfokus pada kombinasi bauran pemasaran tradisional 4 P yaitu product, price, place, dan promotion.
Sebagian besar penelitian mengenai retail dilakukan hanya untuk menguji pengaruh dimensi afektif seperti pengaruh image toko terhadap persepsi toko berdasarkan bauran pemasaran 4 P yaitu harga, kualitas produk yang dijual, dan sebagainya (Areni et al., 1996). Menurut Magrath (1988) dalam Herrington dan Capella (1996), perhatian terhadap bauran pemasaran 4 P ini tidaklah cukup bagi pemasar jasa dan oleh karena itu pemasar jasa sebaiknya mempertimbangkan pengaruh sumber daya manusia, pelayanan pelanggan, dan fasilitas fisik untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Banyak pemasar jasa yang memfokuskan perhatian pada peningkatan fasilitas fisik (lingkungan) untuk memperindah atmosfir sehingga nantinya dapat mempengaruhi konsumen. Menurut Milliman (1986), ada satu hal penting yang perlu ditekankan dalam customer research yaitu pemahaman bahwa orang membuat keputusan pembelian tidak hanya didasarkan pada wujud produk atau jasa yang ditawarkan tetapi juga didasarkan pada atmosfir yang secara potensial berpengaruh besar terhadap keputusan pembelian.
Pada lingkungan pemasaran jasa, khususnya retail, konsumen dapat terekspos oleh berbagai stimuli yang kesemuanya dapat mempengaruhi bagaimana pelanggan bertindak mempengaruhi terhadap apa yang mereka beli, dan mempengaruhi kepuasan mereka terhadap pengalaman berbelanja secara potensial. Musik merupakan salah satu bentuk environmental stimuli yang dapat mempengaruhi konsumen pada lingkungan jasa disamping bentuk environmental stimuli lainnya seperti warna, temperatur, dan cahaya.
Musik dapat mempengaruhi manusia dengan berbagai cara. Menurut Bruner (1990), banyak praktisi pemasaran yang mendukung pendapat yang menyatakan bahwa musik dapat digunakan sebagai stimulus baik pada lingkungan jasa retail maupun pada iklan televisi dan radio. Musik merupakan alat yang efektif dan efisien untuk menggerakkan mood dan mengkomunikasikannya secara non verbal. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila musik dipandang sebagai komponen utama dalam consumer marketing baik pemakaian musik dalam iklan maupun musik dalam lingkungan jasa retail.

2. Masalah
 Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut :
a. Apakah tipe musik yang diputar mempengaruhi jumlah waktu yang dikeluarkan shopper untuk berbelanja di supermarket?
b. Apakah tipe musik yang diputarn mempengaruhi jumlah uang yang dikeluarkan shopper untuk berbelanja di supermarket?

3. Metodelogi
 Variabel : Dependen dan Independen
 Data : Sekunder
Model : Pemasaran 4 P
- Model Perilaku Konsumen dari Assael (1992).
Tahapan : Kuesioner

4. Hasil dan Kesimpulan
Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yalch dan Spangenberg (1990) menyatakan bahwa tipe musik yang diputar (background music dan foreground music) mempengaruhi jumlah waktu dan uang yang dikeluarkan shopper untuk berbelanja. Mereka menemukan bahwa younger shopper (berusia kurang dari 25 tahun) mengeluarkan waktu belanja lebih banyak ketika diekspos background music (musik tanpa vokal/lirik), sedangkan older shopper (berusia diatas 25 tahun) mengeluarkan waktu lebih banyak ketika diekspos foreground music (musik dengan vokal/lirik).
Berdasarkan penelitian tersebut, maka penelitian ini menguji hipotesis :
Hipotesis 1: Tipe musik yang diputar mempengaruhi jumlah waktu yang dikeluarkan shopper untuk berbelanja di supermarket.
Hipotesis II: Tipe musik yang diputar mempengaruhi jumlah uang yang dikeluarkan shopper untuk berbelanja di supermarket.

5. Saran Untuk Lanjutan
 Prosedur untuk menempatkan subyek penelitian dilakukan dengan convenience. 
Convenience dilakukan untuk mempermudah peneliti mendapatkan responden. Responden yang dipilih adalah siapa saja yang datang berbelanja ke supermarket selama penelitian dilakukan dan menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian. Responden dikelompokkan berdasarkan tipe musik yang diputar. Grup eksperimen adalah responden yang mendapat treatment pemutaran tipe musik (musik instrument dan musik tophits).


Sumber :
file://localhost/E:/Strategi%20Pemasaran.mht


Tiga Jurnal :
- Pengaruh Musik Pada Perilaku Berbelanja Di Supermarket, S.ANDIKA.AULIA, 2008.
- Model Perilaku Konsumen dalam Perspektif Teori dan Empiris pada Jasa Pariwisata, Sudarmiatin, 2009.
- Jurnal Manajemen Pemasaran Modern Vol. 1, Widiyanto, 2009.